Perang Revolusi, antara nostalgia dan renungan. Diskusi terbuka antara orang-orang Indonesia dan Belanda yang membicarakan tentang perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
INDONESIA-BELANDA BLAK-BLAKAN BICARA SOAL PERANG
Untuk pertama kali orang Indonesia dan orang Belanda berbicara terus terang tentang perang di zaman revolusi. Hal itu dilakukan oleh sekitar 70 orang peserta diskusi panel yang berjudul Pluralisation of Narrafives on the history of Indonesian Independence (Pluralisasi Kisah Tentang Sejarah Kemerdekaan Indonesia). Tapi peserta diskusi itu tidak hanya membicarakan soal perang saja.
Setelah Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945 Belanda mengirim tentaranya ke Indonesia atau Hindia Belanda, sebutan Indonesia di zaman penjajahan Belanda. Rakyat Indonesia pun melakukan perlawananan. Bagi Indonesia masa itu adalah masa revolusi atau masa perang melawan Belanda yang mau menduduki kembali negerinya.
Semua lapisan masyarakat pada saat itu bangkit melawan Belanda dengan semangat luar biasa. Mereka menggunakan bambu runcing untuk melawan tentara Belanda yang bersenjata lengkap. Namun bagi pihak Belanda yang terjadi antara 1945 sampai 1949 itu bukan perang, tapi penertiban umum atau aksi polisi, yang dalam bahasa Belanda disebut politionele actie.
Petisi
Beberapa saat silam sekelompok intelektual Belanda meminta pemerintah Belanda untuk mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia. Petisi inilah yang mendorong sekelompok warga Indonesia di Belanda untuk menggelar diskusi panel ini.
Salah seorang penandatangan petisi tadi adalah profesor Nico Schulte Nordholt, guru besar di Universitas Twente. "Beliau memiliki keterkaitan masa lalu yang cukup erat dengan Indonesia. Karena beliau lahir di Indonesia pada saat bapaknya bertugas di sana," kata Alpha Amirrachman, ketua panitia diskusi panel yang digelar 19 Juni 2010 di gedung Universitas Leiden itu.
Pertemuan itu adalah kesempatan untuk mengungkapkan cerita-cerita yang lebih personal yang belum terungkap tentang masa antara tahun 1945 sampai 1949. "Misalnya anaknya pak Nico itu pernah menangis ketika mendengar bahwa tentara Belanda mati ditusuk oleh bambu runcing, " kata mahasiswa PhD di Universitas Amsterdam ini. "Ada baiknya kalau cerita itu diketahui oleh orang Indonesia," tandasnya.
Walhasil dari jam 10 pagi sampai 4 sore para hadirin, yang merupakan keturunan pihak-pihak bermusuhan itu dengan serius tapi santai - dan kadang-kadang dibubuhi humor - bertukar cerita.
Pengakuan sejati
Pada perayaan 17 Agustus 2005 Ben Bot Menlu Belanda saat itu telah menyatakan "pemerintah Belanda menerima 17 Agustus 1945 sebagai fakta sejarah awal kemerdekaan Indonesia". Menanggapi hal ini Nico Schulte Nordholt, yang juga bertintak sebagai panelis, menilai itu tidak cukup. Ia ingin agar pemerintah Belanda menyatakan pengakuan sejati 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan RI.
Tjitske Lingsma, seorang wartawan Belanda, dalam makalahnya mengkritik prilaku penjajahan Belanda habis-habisan. Ia juga mengkritik perdana menteri Belanda demisioner Jan Peter Balkenende yang membanggakan "masa kejayaan VOC". Ia juga menyinggung Westerling, serdadu Belanda yang banyak membantai warga Sulawesi Selatan.
Dan yang menarik pula ia mengecam sikap warga dan pemerintah Belanda yang menuntut Jerman dan Jepang minta maaf, tapi segan minta maaf sama Indonesia. "Oleh karena itu akan pantas bagi pemerintah Belanda untuk meminta maaf atas suatu perbuatan yang tidak berlangsung bukan selama tiga tahun, tapi tiga abad, " katanya.
Umar Hadi, wakil dubes RI untuk Kerajaan Belanda, mengimbau untuk membangun monumen perdamaian, bukan monumen perang. Tapi ia menandaskan, dirinya tidak berbicara atas nama pemerintah RI.
Buku sejarah bersama
Nyonya Joty ter Kulve, seorang warga Belanda kelahiran Indonesia atau tepatnya Hindia Belanda, memuji warga Indonesia yang bergagasan menyelenggarakan pertemuan ini. "You are a hero (Anda pahlawan), " katanya.
Alpha Amirrachman merasa puas atas kelancaran diskusi yang banyak mengungkap informasi ini. Ia membenarkan apa yang dikatakan Yoty ter Kulve, pemimpin Yayasan Linggarjati itu. "Jadi ini upaya pertama yang digulirkan yang kebetulan dimulai oleh pihak Indonesia, " tandasnya.
Keputusan diskusi panel yang kongkret adalah berupaya untuk menyusun buku sejarah bersama yang memuat dua versi: Indonesia dan Belanda.
rnw.nl
Petisi
Beberapa saat silam sekelompok intelektual Belanda meminta pemerintah Belanda untuk mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia. Petisi inilah yang mendorong sekelompok warga Indonesia di Belanda untuk menggelar diskusi panel ini.
Salah seorang penandatangan petisi tadi adalah profesor Nico Schulte Nordholt, guru besar di Universitas Twente. "Beliau memiliki keterkaitan masa lalu yang cukup erat dengan Indonesia. Karena beliau lahir di Indonesia pada saat bapaknya bertugas di sana," kata Alpha Amirrachman, ketua panitia diskusi panel yang digelar 19 Juni 2010 di gedung Universitas Leiden itu.
Pertemuan itu adalah kesempatan untuk mengungkapkan cerita-cerita yang lebih personal yang belum terungkap tentang masa antara tahun 1945 sampai 1949. "Misalnya anaknya pak Nico itu pernah menangis ketika mendengar bahwa tentara Belanda mati ditusuk oleh bambu runcing, " kata mahasiswa PhD di Universitas Amsterdam ini. "Ada baiknya kalau cerita itu diketahui oleh orang Indonesia," tandasnya.
Walhasil dari jam 10 pagi sampai 4 sore para hadirin, yang merupakan keturunan pihak-pihak bermusuhan itu dengan serius tapi santai - dan kadang-kadang dibubuhi humor - bertukar cerita.
Pengakuan sejati
Pada perayaan 17 Agustus 2005 Ben Bot Menlu Belanda saat itu telah menyatakan "pemerintah Belanda menerima 17 Agustus 1945 sebagai fakta sejarah awal kemerdekaan Indonesia". Menanggapi hal ini Nico Schulte Nordholt, yang juga bertintak sebagai panelis, menilai itu tidak cukup. Ia ingin agar pemerintah Belanda menyatakan pengakuan sejati 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan RI.
Tjitske Lingsma, seorang wartawan Belanda, dalam makalahnya mengkritik prilaku penjajahan Belanda habis-habisan. Ia juga mengkritik perdana menteri Belanda demisioner Jan Peter Balkenende yang membanggakan "masa kejayaan VOC". Ia juga menyinggung Westerling, serdadu Belanda yang banyak membantai warga Sulawesi Selatan.
Dan yang menarik pula ia mengecam sikap warga dan pemerintah Belanda yang menuntut Jerman dan Jepang minta maaf, tapi segan minta maaf sama Indonesia. "Oleh karena itu akan pantas bagi pemerintah Belanda untuk meminta maaf atas suatu perbuatan yang tidak berlangsung bukan selama tiga tahun, tapi tiga abad, " katanya.
Umar Hadi, wakil dubes RI untuk Kerajaan Belanda, mengimbau untuk membangun monumen perdamaian, bukan monumen perang. Tapi ia menandaskan, dirinya tidak berbicara atas nama pemerintah RI.
Buku sejarah bersama
Nyonya Joty ter Kulve, seorang warga Belanda kelahiran Indonesia atau tepatnya Hindia Belanda, memuji warga Indonesia yang bergagasan menyelenggarakan pertemuan ini. "You are a hero (Anda pahlawan), " katanya.
Alpha Amirrachman merasa puas atas kelancaran diskusi yang banyak mengungkap informasi ini. Ia membenarkan apa yang dikatakan Yoty ter Kulve, pemimpin Yayasan Linggarjati itu. "Jadi ini upaya pertama yang digulirkan yang kebetulan dimulai oleh pihak Indonesia, " tandasnya.
Keputusan diskusi panel yang kongkret adalah berupaya untuk menyusun buku sejarah bersama yang memuat dua versi: Indonesia dan Belanda.
rnw.nl
0 komentar:
Posting Komentar